Masalah Pendidikan Di Indonesia
Memasuki
abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikandi Indonesia.
Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globslisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan Negara lain.
Yang
kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan.
Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan Negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karana itu, kiata seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.
Setelah
kita amati, Nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya
menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan
bangsa di berbagai bidang.
Ada
banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal
maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan yang akan
kami paparkan kali ini adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi
pengajaran.
2.1
EFEKTIFITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan
yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk
dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan
penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya
tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan
efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak
tahu apa tujuan kita.
Selama
ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanak pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas
pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunya kelebihan di
bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat
dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam
pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di
bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan
efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang
mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti
itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak
kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di
Indonesia.
2.2
EFISIENSI PENGAJARAN DI INDONESIA
Efisien
adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang
lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang
baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di
Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih
stendar hasil yang telah disepakati.
Beberapa
masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan,
waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain
yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita.
Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita
bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.
Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu
tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan
sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika
kita berbiara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya
sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain
yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti
buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai
ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar
jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis,
seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh
pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang
mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk
pendidik tersebut.
Selain
masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap
muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam
pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00..
Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik
yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu
tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain
seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Selain
itu, masalah lain efisienfi pengajarn yang akan kami bahas adalah mutu
pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang
mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang
juga membutuhkan uang lebih.
Yang
kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak
pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di
bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan
kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi
pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat
mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan
menbuat tertarik peserta didik.
Sistem
pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam
beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum
1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses
pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya.
Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan
pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost
biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti
kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan
kurikulum yang dinilai lebih efektif.
2.3
STANDARDISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Jika
kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara
tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati
proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia
pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus
berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere
globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti
yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal
maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi.
Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi,
demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BSNP)
Tinjauan
terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan
akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu
kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja
sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta
didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar
pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat
digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di
atas standar saja.
Hal
seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan
makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain
itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan
di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu
menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN
sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti
itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya
dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang
telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug
sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak
hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi
pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih
banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami
bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita
dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
1.
Masalah Pendidikan di Indonesia dan
Solusi Pemecahannya
1.
1. Masalah
Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita
adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi,
adalah uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “pendidikan
nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan
yang maha esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme
itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti
“taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik,
termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan
tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem
pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular,
walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai
perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak,
sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal
ini dapat dibuktikan antara lain pada uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 bab vi tentang
jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang
berbunyi: jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Akhirnya, sektor-sektor modern
(industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang
relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di
sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa
membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak
ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan
pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang
dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini
adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.
Sistem pendidikan yang
material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari
sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem
sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai islam memang tidak pernah
secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah
berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
Solusi Pemecahannya
Penyelesaian masalah mendasar tentu
harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan
perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan
sekular menjadi paradigma islam. Ini sangat penting dan utama.
Artinya, setelah masalah mendasar
diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan,
baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu,
prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan
kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Solusi masalah mendasar itu adalah
merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah
menjadi asas islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi mendasar
itu adalah mengubah total uu sistem pendidikan yang ada dengan cara
menggantinya dengan uu sistem pendidikan islam. Hal paling mendasar yang wajib
diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan
itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan,
seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
- 2. Masalah-Masalah Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud
di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu
banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
- A. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk Sarana Fisik Misalnya, Banyak
Sekali Sekolah Dan Perguruan Tinggi Kita Yang Gedungnya Rusak, Kepemilikan Dan
Penggunaan Media Belajar Rendah, Buku Perpustakaan Tidak Lengkap. Sementara
Laboratorium Tidak Standar, Pemakaian Teknologi Informasi Tidak Memadai Dan
Sebagainya. Bahkan Masih Banyak Sekolah Yang Tidak Memiliki Gedung Sendiri,
Tidak Memiliki Perpustakaan, Tidak Memiliki Laboratorium Dan Sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
Menyebutkan Untuk Satuan Sd Terdapat 146.052 Lembaga Yang Menampung 25.918.898
Siswa Serta Memiliki 865.258 Ruang Kelas. Dari Seluruh Ruang Kelas Tersebut
Sebanyak 364.440 Atau 42,12% Berkondisi Baik, 299.581 Atau 34,62% Mengalami
Kerusakan Ringan Dan Sebanyak 201.237 Atau 23,26% Mengalami Kerusakan Berat.
Kalau Kondisi Mi Diperhitungkan Angka Kerusakannya Lebih Tinggi Karena Kondisi
Mi Lebih Buruk Daripada Sd Pada Umumnya. Keadaan Ini Juga Terjadi Di Smp, Mts,
Sma, Ma, Dan Smk Meskipun Dengan Persentase Yang Tidak Sama.
- B. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat
Memprihatinkan. Kebanyakan Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai
Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 Uu No 20/2003
Yaitu Merencanakan Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil
Pembelajaran, Melakukan Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian
Dan Melakukan Pengabdian Masyarakat.
Bukan Itu Saja, Sebagian Guru Di
Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak Mengajar. Persentase Guru Menurut
Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di Berbagai Satuan Pendidikan Sbb:
Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07% (Negeri) Dan 28,94% (Swasta), Untuk
Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta), Untuk Sma 65,29% (Negeri) Dan 64,73%
(Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak Mengajar 55,49% (Negeri) Dan 58,26%
(Swasta).
Kelayakan Mengajar Itu Jelas
Berhubungan Dengan Tingkat Pendidikan Guru Itu Sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) Menunjukkan Dari Sekitar 1,2 Juta Guru Sd/Mi Hanya 13,8% Yang
Berpendidikan Diploma D2-Kependidikan Ke Atas. Selain Itu, Dari Sekitar 680.000
Guru Sltp/Mts Baru 38,8% Yang Berpendidikan Diploma D3-Kependidikan Ke Atas. Di
Tingkat Sekolah Menengah, Dari 337.503 Guru, Baru 57,8% Yang Memiliki
Pendidikan S1 Ke Atas. Di Tingkat Pendidikan Tinggi, Dari 181.544 Dosen, Baru
18,86% Yang Berpendidikan S2 Ke Atas (3,48% Berpendidikan S3).
Walaupun Guru Dan Pengajar Bukan
Satu-Satunya Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan Tetapi, Pengajaran
Merupakan Titik Sentral Pendidikan Dan Kualifikasi, Sebagai Cermin Kualitas,
Tenaga Pengajar Memberikan Andil Sangat Besar Pada Kualitas Pendidikan Yang
Menjadi Tanggung Jawabnya. Kualitas Guru Dan Pengajar Yang Rendah Juga
Dipengaruhi Oleh Masih Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Guru.
- Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan indonesia.
Berdasarkan survei fgii (federasi guru independen indonesia) pada pertengahan
tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru pns per bulan sebesar rp 1,5 juta.
Guru bantu rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata rp 10
ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/lks,
pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (republika, 13 juli, 2005).
Dengan adanya uu guru dan dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (pns) agak lumayan. Pasal 10 uu itu
sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru
dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan pikiran
rakyat 9 januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 pts di jawa barat dan banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat uu
guru dan dosen (pikiran rakyat 9 januari 2006).\
Permasalahan kesejahteraan guru
biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan
proses pendidikan. Berdasarkan hasil survei dari human development index (hdi)
menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru sd, 40% guru sltp, 43% guru smu, dan 34%
guru smk belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya
lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di indonesia
mengajar bukan pada bidang keahlian mereka. (toharuddin, oktober 2005).
Guru sebagai tenaga kependidikan
juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan.
Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan
dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori
motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang
dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya
jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan
mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah
selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam
upaya mencerdaskan suatu generasi.
- Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi
fisika dan matematika siswa indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut trends in mathematic and science study (timss) 2003 (2004), siswa
indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa malaysia dan singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 september
2004 lalu United Nations For Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul human development report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
laporan bank dunia (greaney,1992), studi iea (internasional association for the
evaluation of educational achievement) di asia timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas iv sd berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa sd: 75,5 (hongkong), 74,0 (singapura),
65,1 (thailand), 52,6 (filipina), dan 51,7 (indonesia).
Anak-anak indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi the third
international mathematic and science study-repeat-timss-r, 1999 (iea, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa sltp kelas 2
indonesia berada pada urutan ke-32 untuk ipa, ke-34 untuk matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah asia week dari 77 universitas yang
disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
- E. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data balitbang departemen pendidikan
nasional dan direktorat jenderal binbaga departemen agama tahun 2000 menunjukan
angka partisipasi murni (apm) untuk anak usia sd pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian apm ini termasuk kategori tinggi. Angka
partisipasi murni pendidikan di sltp masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut
- Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu
sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang
depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
- Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari taman kanak-kanak (tk) hingga perguruan tinggi (pt) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk tk dan sdn saja saat ini
dibutuhkan biaya rp 500.000, — sampai rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas rp 1 juta. Masuk sltp/slta bisa mencapai rp 1 juta sampai rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan mbs
(manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah/dewan
pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses
atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala
pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan komite sekolah”. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan kepala
sekolah. Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala
sekolah, dan mbs pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya ruu tentang badan hukum pendidikan (ruu bhp). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun
berubah menjadi badan hukum milik negara (bhmn). Munculnya bhmn dan mbs adalah
beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. Bhmn sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri indonesia
sebesar 35-40 persen dari apbn setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(kompas, 10/5/2005).
Dari apbn 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang
yang menguras 25% belanja dalam apbn (www.kau.or.id). Rencana pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
undang-undang sistem pendidikan nasional, ruu badan hukum pendidikan, rancangan
peraturan pemerintah (rpp) tentang pendidikan dasar dan menengah, dan rpp
tentang wajib belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam pasal 53 (1) uu no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional
(sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator lsm education network for justice (enj), yanti mukhtar (republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati
pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi revrisond bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda
kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat bank dunia. Melalui rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (ruu
bhp), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan
kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (bhp) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari sd hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
ptn yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (bhmn) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di indonesia. Di jerman, prancis, belanda, dan di beberapa
negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk ‘cuci
tangan’.
- Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill
yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan,
maka berdasarkan pp no.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum
untuk smp/mts/ smplb atau bentuk lain yang sederajat, sma/ma/smalb atau bentuk
lain yang sederajat, smk/mak atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan
pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud
meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Adapun kriteria penilaian hasil
belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain
penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan
kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a. Pengamatan terhadap
perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian
peserta didik, serta. B. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur
aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau
bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian
hasil belajr kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan
terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan
ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata
pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dolakukan melalui: a. Pengamatan terhadap
perubahan perilaku dan sikap untuk meniali perkembangan psikomotorik dan
afektif peserta didik, dan; b. Ulangan dan atau penugasan untuk mengukur aspek
kognitif peserta didik.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka
dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang
digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru
menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan
pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran
antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya
merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.
- Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat Dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan
berdasarkan uu no.20/2003 dalam pasal 36 tentang kurikulum menyebutkan: (1)
pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3)
kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara
kesatuan republik indonesia dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat
peserta didik; d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; h. Agama; i. Dinamika perkembangan global;
dan j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam pp no.19/2005 antara lain
dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum,
kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia,
ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6).
Kurikulum dan silabus sd/mi/sdlb/paket a, atau bentuk lain yang sederajat
menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan
berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat
tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik.
Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga,
lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan
dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
- Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat
dalam pendidikan dalam uu no.20/2005 sisdiknas pasal 54 tentang peran serta
masyarakat dalam pendidikan menyebutkan : (1) peran serta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) masyarakat dapat berperan serta
sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebagai contoh, sebagaimana
diungkapkan oleh kadisdik jabar, dadang dally bahwa dunia usaha dan dunia
industri merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki peranan penting dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerjasama dengan
dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap
inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah,
bukan menggalang dana dari dunia usaha. (www.bapeda-jabar.go.id/2006)
Hal yang justru memunculkan
kerawanan saat ini adalah dengan adanya ruu bhp maka peranan pihak swasta
(pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan,
sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan du/di tersebut ternyata
menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam
lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya
tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan
kapitalisasi pendidikan.
Dalam kaitan antara penyerapan du/di terhadap lulusan sekolah maka berdasarkan data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Dalam kaitan antara penyerapan du/di terhadap lulusan sekolah maka berdasarkan data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
- Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses
pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan
segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan
sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan
model pembelajaran yang efektif.
Dalam pp no 19/2005 tentang standar
nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar
proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya
keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan
di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan
pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional
sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik di kota bandung yang masih
melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum
menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. sebagaimana di
beritakan dalam http://www.pikiran
rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota bandung banyak guru sd yang belum
menguasai komputer dan internet. menurut forum aksi guru indonesia (fagi) kota
bandung, hanya sebagian kecil guru yang sudah menguasai teknologi tersebut,
padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru, misalnya ketika
memproses nilai-nilai siswa. terutama guru-guru yang sudah lama mengabdi,
sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. apalagi guru-guru sd,
sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam penguasaan teknologi
informasi ini kalah oleh para siswanya. padahal, dengan penguasaan teknologi
informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. selama ini, tugas
tersebut dilakukan guru secara manual. kurangnya penguasaan komputer tersebut
bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun karena kurang
kemampuan dan kemauan. sehingga, komputer tersebut lebih banyak digunakan oleh
bagian tata usaha. akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan jasa komputer,
cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
sudah selayaknya profesi sebagai
seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara
intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya
berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan
fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model
pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
3. mutu sdm pengelola pendidikan
sumber daya pengelola pendidikan
bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang
secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. rendahnya
mutu dari sdm pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat
keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam
sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga
akan berjalan lamban.
dalam kaitannya dengan regulasi
pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu
pada uu no.20/2003 dan pp no 19/2005 tentang snp yang dalam pasal 49 tentang
standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola manajemen
berbasis sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola
otonomi perguruan tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan
diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang :
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik;
struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas
diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan
pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan.
Kemudian standar pengelolaan oleh
pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan
dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan
untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara;
penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai
profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap
kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang
pendidikan.
Sedangkan standar pengelolaan oleh
pemerintah (pasal 60) meliputi penyusunan rencana kerja tahunan dengan
memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi
pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan
pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan
status guru sebagai profesi; peningkatan mutu dosen; standardisasi pendidikan;
akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan
lokal, nasional dan global; pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang
pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan nasional.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme mbs dan otonomi pt sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme mbs dan otonomi pt sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.
Solusi Pemecahannya
Seperti diuraikan di atas, selain
adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di indonesia juga mengalami
masalah-masalah cabang, Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara
garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni
solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah
cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti
rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan–
berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang
efektif kita menerapkan sistem pendidikan islam dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan
diganti dengan sistem ekonomi islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang
akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi
yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi
ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya
praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas
dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya. Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial,
semisal perbaikan kurikulum, kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya
tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya
belum diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar